Sabtu, 22 November 2008

Membahas Tentang Ilmu Tanah dan Agronomi

Ilmu Tanah dan Agronomi

Isu lingkungan menjadi tantangan terberat dalam peningkatan produktivitas budidaya kelapa sawit yang dilatar belakangi oleh pengembangan kelapa sawit yang terus mengarah ke lahan marjinal, biaya produksi yang terus meningkat, dan kesinambungan produktivitas kelapa sawit itu sendiri. Penelitian di Kelompok. Peneliti Ilmu Tanah dan Agronomi (KITA) pada tahun 2006 diarahkan untuk menjawab tantangan tersebut, di antaranya melalui optimalisasi penggunaan lahan dengan pengaturan kerapatan tanaman secara berjenjang, penggunaan teknik peresapan air bebas aliran permukaan, penerapan sistem underplanting terpadu dan penerapan teknologi kultur teknis terkini untuk peningkatan produksi kelapa sawit.

Upaya otimalisasi penggunaan lahan untuk meningkatkan produksi tanpa harus menambah luasan areal perkebunan dilakukan melalui peningkatan populasi tanaman secara berjenjang dan peremajaan tanaman dengan menggunakan teknik underplanting terpadu. Sedangkan penerapan teknologi kultur teknis terkini berguna untuk meningkatkan produktivitas perkebunan kelapa sawit yang diantaranya penerapan precision agriculture, studi perkebunan kelapa sawit di dataran tinggi, nutrient balance, aplikasi bahan organik, kajian ternak lembu dan dampaknya bagi perkebunan kelapa sawit dan penggunaan teknik peresapan air bebas aliran permukaan sebagai dasar dalam upaya mengatasi kekeringan.

Pengaturan kerapatan tanaman secara berjenjang

Salah satu penelitian KITA untu k optimalisasi lahan dan meningkatkan produksi TM adalah pemanfaatan bahan tanaman kelapa sawit bertajuk kecil yang dikombinasikan dengan pengaturan jarak tanam berjenjang di kebun Membang Muda, PTP Nusantara III. Enam varietas yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu Lame, Rispa, Yangambi, Dolok Sinumbah (Dosin), Dolok Sinumbah-Bah Jambi, dan Rispa-Bah Jambi. Pada tahap awal penanaman dilakukan dengan kerapatan 181 pohon ha-1, dijarangkan menjadi 155 pohon ha-1, dan akhirnya dijarangkan lagi hingga mencapai kerapatan akhir 124 pohon ha-1. Sampai dengan akhir 2006, peningkatan produksi pada populasi tinggi lebih tinggi 60% diban-dingkan pada populasi normal, sedangkan biaya yang ditimbulkannya meningkat hanya 24% dibandingkan dengan populasi normal.

Penelitian ini juga menunjukkan indeks luas daun (ILD) pada semua varietas yang ditanam dengan kerapatan tinggi ternyata lebih tinggi dibandingkan yang ditanam pada populasi normal (128 pohon ha- 1). Selain itu gejala etiolasi juga sudah sangat nyata terlihat pada tanaman yang ditanam pada populasi tinggi terutama untuk varietas Dosin, Dosin-Bah Jambi dan Yangambi.

Pemanfaatan Tandan Kosong di Perkebunan Kelapa Sawit

 Kebutuhan hara yang besar untuk mendukung pertumbuhan dan produktivitas tanaman kelapa sawit menjadikan anggaran untuk pemupukan menjadi besar, selain hal itu pengelolaan perkebunan kelapa sawit dewasa ini diharuskan memperhatikan kelestarian lingkungan dan trend isu global perusahaan modern menuju zero waste. Salah satu langkah untuk menuju pengolahan zero waste adalah pemanfaatan limbah kelapa sawit berupa tandan kosong kelapa sawit (TKS) sebagai sumber hara K dan digunakan sebagai bahan pembenah tanah baik untuk perkebunan maupun pertanian.
Penelitian sudah memasuki tahun ke-2 dan telah dilakukan perhitungan total buah dan bunga. Hasil perhitungan buah dan bunga menunjukkan bahwa jumlah buah dan bunga tertinggi terdapat pada perlakuan 50% pupuk standar +50% TKS, yaitu sekitar 30% lebih tinggi dibandingkan dengan standar, sedangkan jumlah buah terendah diperoleh pada perlakuan pupuk standar.

Aplikasi Kompos TKS pada Kelapa Sawit TM

 Penggunaan areal-areal yang bergelombang dan berbukit, membawa konsekuensi pada permasalahan topografi dan tingkat kesuburan tanah yang rendah akibat seringnya tanah tersebut mengalami erosi. Tindakan-tindakan konservasi sangat perlu dilakukan untuk menjaga kesuburan tanah dan kelangsungan usaha perkebunan itu sendiri. Salah satu tindakan konservasi yang dapat dilakukan adalah dengan aplikasi bahan pembenah tanah berupa bahan organik.
Kompos TKS merupakan salah satu bahan organik yang bahan bakunya tersedia cukup banyak pada pengelolaan perkebunan kelapa sawit. Selain dapat memperbaiki sifat fisik tanah terutama berperan dalam memperbaiki struktur tanah, kompos TKS juga memiliki kandungan hara yang dapat mendukung pertumbuhan dan perkemba-ngan tanaman. Kompos TKS yang halus mempunyai kandungan hara C sebesar 35,1%, N 2,34 %, C/N 15 %, P 0,31 %, K 5,53%, Ca 1,46%, dan Mg 0,96 %.

Hasil sementara menunjukkan bahwa aplikasi 80 % pupuk standar + 15 ton kompos TKS/ha cenderung menaikkan jumlah tandan. Sedangkan perlakuan pupuk standar 90 % + kompos 20 ton/ha dapat meningkatkan rerata berat tandan.

Lembu di Perkebunan Kelapa Sawit

 Ternak sapi yang digembalakan di areal tanaman kelapa sawit saat ini telah menimbulkan dampak negatif bagi pertumbuhan dan sifat fisik/kimia tanah di beberapa perkebunan kelapa sawit. Pengembalaan ternak sapi tersebut memungkinkan terjadinya pemadatan tanah. Ternak sapi bahkan sempat dianggap sebagai “hama” yang secara langsung dapat merusak tajuk tanaman muda. Selain itu sapi yang digembalakan secara bebas di perkebunan kelapa sawit memungkinkan sebagai “carrier” terhadap penyebaran hama lainnya. Meskipun demikian, masih terdapat peluang untuk mengelola ternak sapi ini secara lebih bijaksana. Peluang tersebut adalah dengan memadukan budidaya ternak sapi dengan industri kelapa sawit, yaitu dengan pengandangan sapi yang mengandalkan hasil samping industri kelapa sawit sebagai sumber pakan utama, atau mengintegrasikannya dengan industri kelapa sawit melalui penggunaan sapi sebagai alat bantu transportasi panen sedangkan kotorannya dapat dijadikan sebagai sumber pupuk organik dan sumber bahan bakar alternatif.
Ternak sapi yang digembalakan bebas di areal perkebunan kelapa sawit telah dipertimbangkan sebagai hama, baik langsung maupun tidak langsung mengganggu pertumbuhan tanaman kelapa sawit. Namun berbeda dengan jenis hama lainnya, dengan pengelolaan yang baik ternak sapi dapat disinergikan dengan industri kelapa sawit. Pengelolaan ternak terpadu dalam industri kelapa sawit dapat memberikan nilai tambah untuk meningkatkan kesejahteraan tenaga pemanen maupun penduduk sekitar melalui sumber pendapatan dari usaha ternak, penanganan yang lebih bijaksana terhadap limbah pabrik minyak sawit, dan pengelolaan bahan organik yang lebih baik.

Antisipasi Kekeringan di Perkebunan Kelapa Sawit

 Penelitian mengenai pemanfaatan air hujan dengan membangun konservasi tanah dan air sebagai antisipasi dari kekeringan telah dilakukan sejak tahun 2005 melalui kerjasama antara PPKS dengan Institut Pertanian Bogor di unit usaha Rejosari, PTP Nusantara VII, Lampung. Penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan efektivitas perlakuan rorak berserasah, dan guludan bersaluran dan bermulsa vertikal dalam menekan aliran permukaan pada penanaman kelapa sawit, serta pengelolaan cadangan air di dalam solum tanah dengan jalan memaksimalkan proses penyimpanan air hujan ke dalam tanah. Hasil penelitian sementara menunjukkan bahwa bangunan konservasi rorak berserasah menunjukkan aliran permukaan yang paling kecil dibanding pelakuan guludan  maupun kontrol. Perlakuan konservasi tanah dan air tersebut dapat meningkatkan cadangan air di dalam tanah, sehingga pada waktu musim kemarau (Juli - November), cadangan air di dalam tanah akan tercukupi dan dapat mempertahankan produksi tanaman kelapa sawit.

Cadangan air terbesar di dalam tanah adalah pada perlakuan rorak berserasah, diikuti perlakuan guludan dan kontrol. Berdasarkan data yang diperoleh, perlakuan rorak berserasah lebih efektif dari pada perlakuan guludan dalam menunda kekeringan di kebun kelapa sawit di lokasi penelitian hingga 3,5 bulan dari pada perlakuan guludan yang hanya 2,5 bulan dari pada tanpa perlakuan konservasi tanah dan air sama sekali.

Precision Agriculture

Penelitian ini bertujuan untuk membuat database tentang kondisi dan pengelolaan kebun serta menjadikan database tersebut sebagai dasar bagi pihak manajemen kebun dalam mengambil keputusan. Tujuan jangka panjangnya adalah untuk memperoleh paket teknologi analisis produktivitas tanaman kelapa sawit yang berbasis spasial. Sebagai langkah awal penelitian dilakukan pemetaan secara digital, penelu-suran permasa-lahan utama di kebun seperti penelusuran sarana jalan yang sering mengalami kerusakan, dan pengambilan data produksi yang dilanjutkan dengan penyusunan sistem informasi produksi kebun per blok. Pembuatan sistem informasi kebun Dalu-Dalu PPKS sudah dilakukan dengan teknik pemrograman avenue ArcView 3.3. Hasil yang didapatkan masih memerlukan perbaikan dan menggunakan bahasa pemograman yang lainnya karena dengan bahasa pemograman avenue pihak kebun harus mempunyai program/software ArcView 3.3.
Dengan demikian pada penelitian lanjutan precision agriculture ini dilakukan penyusunan sistem informasi kebun dengan menggunakan bahasa pemograman visual basic dan software GIS yang open source.

Penilaian Kesesuaian Lahan Gambut untuk Tanaman Kelapa Sawit

Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh kriteria klasifikasi kesesuaian lahan untuk kelapa sawit pada lahan gambut berdasarkan indeks lahan. Terdapat 11 karakteristik lahan yang dipilih dalam evaluasi kesesuaian lahan gambut ini dengan kriteria kesesuaian lahannya. Kriteria tersebut untuk penilaian karakteristik lahan, kemudian untuk keseluruhan bobot digabung dengan Square Root.
Metode untuk menghitung nilai indeks lahan berdasarkan persamaan berikut :

I = indeks lahan
Rmin = nilai bobot minimum
A, B, C, ..... (bobot masing-masing karakteristik lahan).

Selanjutnya setelah diperoleh indeks lahan dari setiap unit lahan yang dievaluasi, maka akan diperoleh kelas kesesuaian lahannya.

Sistem Underplanting untuk Peremajaan Kelapa Sawit

Salah satu dampak dari underplanting ialah adanya kekhawatiran masa TBM yang lebih panjang dari masa TBM normal. Untuk menjawab tantangan tersebut, dikembangkan sistem underplanting terpadu yang menggunakan berbagai metode kultur teknis untuk mempercepat masa TBM.
Dari hasil pengamatan sementara di lapangan diperoleh data yang menunjukkan bahwa hampir semua parameter pengamatan vegetatif didominasi oleh perlakuan replanting biasa, kecuali pada parameter panjang rachis. Sedangkan dari segi produksi dapat dilihat bahwa pada tahun pertama produksi yang masih dapat diperoleh dari tanaman tua pada total luas 29,5 ha adalah sebesar 219,35 ton dan pada tahun kedua menurun menjadi 146,74 ton sejalan dengan berkurangnya populasi tanaman akibat peracunan. Mamasuki tahun ke-3 penelitian, hasil perhitungan buah dan bunga menunjukkan bahwa perlakuan pemupukan (peremajaan underplanting dengan pemupukan 100% dosis kebun) memiliki jumlah bunga dan buah tertinggi dibandingkan perlakuan lainnya.

Kelapa sawit di beberapa tingkat ketinggian

Hasil penelitian yang diperoleh sampai akhir tahun 2006 ini menunjukkan penanaman kelapa sawit pada berbagai ketinggian tempat (altitude) memberikan implikasi terhadap pertumbuhan vegetatif yang beragam pada tanaman belum menghasilkan (TBM) maupun tanaman menghasilkan (TM).
Dari penelitian awal ini ditunjukkan bahwa pada TBM telah terjadi indikasi kompetisi dalam memanfaatkan radiasi surya yang terlihat dari pertumbuhan panjang rachis pelepah daun kelapa sawit pada perlakuan altitude 0-250 mdpl berbeda nyata dengan perlakuan yang lainnya yaitu altitude 251-500 mdpl, 501-750 mdpl dan 751-1000 mdpl.
Pada TM, pertumbuhan vegetatif tinggi tanaman dan tebal petiole terlihat lebih besar pada pertanaman dengan altitude 501-750 dan 751-1000 m dpl, sedangkan panjang rachis dan lebar petiola tidak berbeda nyata karena sudah stabil.

Defisiensi Cu pada tanah mineral

Gejala defisiensi Cu umumnya terlihat pada tanah-tanah organik, namun belakangan ini gejala defisiensi Cu juga sering muncul pada tanah mineral. Untuk itu pada tahun 2006 dilakukan percobaan aplikasi pupuk Cu dengan berbagai taraf di kebun percobaan Aek Pancur baik dalam bentuk CuSo4 maupun pupuk majemuk mengandung mikro (Sulfomag dan Micromag) dengan tujuan untuk mempercepat penanganan gejala defisiensi Cu pada TBM di tanah mineral.
Sebelum percobaan dimulai, telah diaplikasikan pupuk Sulfomag dengan kandungan Cu sebesar 0,1%. Parameter percobaan ini adalah persentase gejala defisiensi Cu terhadap daun muda. Pengamatan dilakukan secara visual, yaitu dengan menghitung jumlah anak daun pada daun baru yang muncul yang terserang gejala defisiensi, lalu dipersentasekan terhadap total anak daun pada pelepah yang sama. Hasil penelitian menunjukkan bahwa upaya percepatan penanggulangan defisiensi Cu dengan aplikasi pupuk CuSO4 tidak memberikan hasil yang nyata. Dengan telah dilakukannya aplikasi pupuk Sulfomag sebelum percobaan, gejala defisiensi Cu akan berkurang seiring dengan perkembangan tanaman.

Teknik Perbanyakan Mucuna bracteata.

Penggunaan kacangan Mucuna bracteata sebagai kacangan penutup tanah sangat populer beberapa waktu terakhir. Dari hasil penelitian pertambahan panjang sulur Mucuna bracteata mencapai 20-25 cm/hari. Kacangan ini hanya berbunga di dataran tinggi sehingga bijinya umumnya di impor dari India.

Mengingat mahal dan sulitnya memperoleh jenis kacangan ini, berbagai metode perbanyakan Mucuna bracteata diteliti dan dikembangkan bersama dengan pekebun.
Terdapat berbagai teknik perbanyakan vegetatif yang dikembangkan dengan tingkat keberhasilan yang cukup tinggi. Dari hasil penelitian metode yang terbaik untuk memperbanyak Mucuna bracteata secara vegetatif ialah dengan sistem susuan.
Upaya perbanyakan secara generatif telah dicoba di dataran tinggi Brastagi dan Sibosur Sumatera Utara. Walaupun mampu berbunga dengan baik, namun tingkat keberhasilan perkembangan biji sangat beragam tergantung pada iklim setempat, yang sangat ditentukan oleh ketinggian areal.

Tidak ada komentar: